Cinta Pertama
Seketika desir-desir aneh mulai merambati hati, ada sesuatu yang tidak kupahami selain sebuah keinginan besar untuk selalu dekat dengan dia. Menikmati segala keindahannya, lalu menjadi bagian dari segala kebahagiaan juga kesedihannya. Itulah yang pertama kali terasa saat aku mengenal cinta pertama.
Mengenang kembali cinta pertama bagiku adalah membayangkan kembali disuatu masa dimana aku menjelma menjadi sesosok pria remaja yang berseragam putih dan celana pendek biru berdiri tegak kaku dengan lutut bergetar dipinggir pintu kelas yang selalu menyaksikan dirinya, wanita yang selalu jadi bunga mimpi dari malam ke malam. Berlalu anggun sembari melepas senyum riang yang membuat jantung berpacu kencang dengan desir aneh tak terkatakan.
Dalam hati terasa suatu waktu dia akan menemani hidupku untuk tumbuh besar, dewasa, membangun keluarga bahagia, memiliki anak-anak dan menjadi tua bersamanya. Begitulah tekad sederhana yang aku rasa ada dalam batinku, sebuah tekad yang mungkin sulit tercapai tapi bukan mustahil untuk diwujudkan. Ku mengenang bagaimana ketika aku dengan malu-malu mencuri pandang kearahnya yang duduk di bangku belakang, mengagumi setiap helai rambutnya yang berpotongan serta matanya yang berpendar lembut.
Bahkan ku tak pernah berani bertatapan langsung dengannya atau berbicara lebih lama, karena badan mendadak terasa jadi kaku tak bisa bergerak. Setiap malam, tak pernah tak terlewatkan membayangkan sosok sang idaman hati menjelang tidur bahkan kerap berkunjung menghiasi mimpi-mimpi, menjelma menjadi seorang bidadari berpakaian putih dan bersayap cemerlang.
Itulah cinta pertama yang aku rasakan. Sayang sekali, ketika itu aku tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk melakukan pendekatan secara intens. Bukan karena apa-apa, tapi aku merasa rendah diri setiap kali berhadapan dengannya. Disaat itulah aku mengalami inferioritas tahap akut yang parah. Itu justru aku alami pada wanita yang sangat aku sukai. Suatu hari ia datang menghampiri. Jujur, kaki mendadak gemetar dan lidah terasa kelu. “Tolong, ajari matematika ya?”, katanya pelan sedikit tersipu. Aku tak dapat berkata apa-apa dan yang aku lakukan hanya diam dan terpana.
Kisahpun berlalu seperti awan lembut yang selalu menghiasi dunia. aku memiliki kesempatan itu dan berusaha mewujudkan impian. Sungguh lucu ketika aku harus mengorbankan SMA favorit ketika berusaha agar tetap satu sekolah dengannya. Namun ketika itulah aku justru kehilangan dia. Kini rasa kehilangan itu sungguh sangat membekas dihati. Bahkan ketika itu aku memilih untuk lebih berkonsentrasi mengurus OSIS SMA ketimbang menjalin hubungan cinta. Dibalik itu semua sejujurnya aku masih ada rasa memendam harapan padanya. Di tahun berikutnya, aku justru kehilangan jejak dan tak pernah lagi saling berkomunikasi dengan dirinya.
Kenangan cinta pertama memang tak terlupakan dan kehangatannya masih tetap terasa hingga kini. aku menandai momen terindah dalam sepotong episode kehidupan ini sebagai sebuah monumen berharga. Entah disuatu ketika saat jika kami akhirnya bertemu kembali, aku ingin mengajaknya mengenang masa-masa indah itu.